THE SecrEt KnowLedGe

THE SecrEt KnowLedGe

Rabu, 14 Mei 2014

Tugas IBD

PERAN AGAMA DALAM PERKEMBANGAN BUDAYA LOKAL

Description: http://dhiasitsme.files.wordpress.com/2010/10/logo_gunadarma.jpg
DISUSUN OLEH :
NAMA      : ALDI SUKMADIKA (10113606)
1 KA 07







UNIVERSITAS GUNADARMA



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Badaya atau yang sering kita sebut sebagai culture merupakan bagian dari warisan orang dulu atau nenek moyang kita yang masih ada hingga saat ini. Suatu bangsa atau negara tidak akan berkembang tanpa ada nya budaya, maka budaya ini merupakan faktor penting jugak, kebudayaan pun semakin berkembang di jaman modrenisasi ini. Kebudayaan yang berkembang terhadap bangsa itu sendiri itu lah disebut budaya lokal. Didalam kebudayaan pasti ada yang menganut kepercayaan sendiri – sendiri ini lah yang disebut agama, dalam hal ini saya akan membahas mengenai keragaman kebudayaan islam secara terperinci dan insyaallah akurat. Agama itu sndiri iyalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang dianut oleh suatu suku tersebut.
Pada pembahasan kali ini saya akan membahas mengenai Agama dan keragaman kebudayaan agama islam. Perspektif peradaban budaya islam, ini terkait erat dengan kebudayaan dan keragamannya.


B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara islam masuk ke Indonesia ?
2.      Bagaimana perkembangan agama islam klasik dari kebudayaan tunggal menjadi kebudayaan yang beragam ?
3.    Bagaimana hubungan agama Islam dengan budaya lokal ?
4.      Macam - macam Keragamaan Kebudayaan islam lokal ?












BAB II
PERAN AGAMA TERHADAP
PERKEMBANGAN BUDAYA LOKAL


A. CARA ISLAM MASUK KE INDONESIA
Pada awalnya Islam masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya, bukan dengan Al Quran di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Melalui alunan gamelan di depan masjid Demak, Sunan Kalijaga mengajar masyarakat kalimah syahadat. Seusai membaca syahadat, para mualaf dipersilahkan memasuki halaman masjid dan menikmati indahnya alunan gamelan. Di Madura, Pangeran Katandur memberi benih jagung dan mengajar masyarakat bertani sambil dilatih membaca kalimah syahadat. Dan ketika panen jagung tiba, masyarakat dibiarkannya merayakan panen dengan lomba lari sapi yang sekarang dikenal dengan karapan sapi.
Para wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

B. Perkembangan Peradapan Islam Klasik dari Kebudayaan Tunggal menjadi Kebudayaan yang Beragam.
Analisis hodgson(1974), Islam telah menampakkan eksistensinya pada periode keararifan tinggi, yaitu pada masa kekuasaan bani marwan dan banni abbasiyah awal,  yaitu pada waktu itu muslim membangun negara atau khalifah dan kebudayaan yang sangat luas wilayahnya dengan bahasa tunggal ilmu pengetahuan dan kebudayaan yaitu bahasa arab, dan agama islam lah sebagai pembentuk utama kebudayaana, dan banyak mengembangan tradisi tradisi baru.




Pada periode selanjutnya islam pertengahan awal, peradapan islam pun tumbuh dan berkembang menjadi peradaban internasional yang menyebar keluar batas wilayah, melalui lembaga sosial otonom, seperti organisasi ulama,sufi, dan organisasi komersial, yang melampui batas kekhalifahan dan mendorong terbangunan kecanggihan kultural atau kebudayaan tinggi dari tradisi-tradisi yang telah dikembangkan dimasa kekhalifahan tinggi. Dengan itu islam pun telah memasuki babak baru  dengan peradaban dan keragaman budaya.

Menurut analisis al-jabiri (1991), dinasti abbasiyah misalnyanya. Dengan disiplin yang tekun keilmuan islam dengan merengkontruksi bahasa dan agama yang berasal dari jaman jahiliya dan masa permulaan islam dengan pengguna logika dari aristoteles dan beberapa aspek pemikiran yunani, mengembangkan kebudayaan dengan pemikiran yang baru dan sendiri,yaitu epsitemologi bayani. Ada pula lagi dinasti fathimiyah juga menggunakan metode penalaran yunani terutama aristoteles, mengembangkan kebudayaan dengan corak epistemologi lain, yaitu epistemologi burhani, yang mencoba membangun kembali tradisi bayani, dan memperbaiki kekurangannya dan membuang paham paham lama dengan pemahaman yang baru.

Dari analisis-analisis diatas dapat di definisikan beberapa hal pertama, terdapat dialektka antara agama dan warisan kebudayaan pra-islam, telah memberikan warna baru pada pengembangan budaya islam. Kedua, otoritas kekuasan telah berperan sebagai faktor pembentuk keragaman kebudayaan.




















C. HUBUNGAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif. Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan, tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu. Lebaran menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “adat bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga dikenal abantal omba’, asapo’ iman yang bermakna bekerja keras dan senantiasa bertakwa.
Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding(pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami  (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.



D. Keragaman Kebudayaan Islam
Jadi secara garis besar kebudayaan islam dapat di petakan dalam lima kawasan : 
arab, iran ,turki, melayu dan afrika hitam.
1.      Kawansan Arab
Kawasan arab kebudayaan islam adalah kawansan kebudayaan yang mendominan dengan bahasa arab sebagai salah satu bahasa kebudayaannya.
2.      Kawasan Iran
Kawasan Iran kebudayaan islam dicirikan dengan bahasa indo irannya yang sangat mendominan,ciri etnik, dan bnyak nya mendominasi agama islam persia dan bahasa persia.
3.      Kawasan Turki
Kawasan ini adalah kawasan yang dekat dengan kebudayaan islam persia.
4.      Kawasan Melayu
Kawansan melayu dari thailand hingga indonesia sampai dengan filiphina  merupakan kebudayaan islam yang paling luas. Walaupun di negara tersebut ada berbagai macam agama, tetapi tetap saja agama islam mendominan.


5.      Kawasan Afrika Hitam
Kawansan ini merupakan kawasan yang sudah memiliki kontak dengan islam atau hubungan dengan islam yang lumayan cukup lama sejak masa nabi(melalui migrasi sebagian kecil orang islam ke othopia)



















BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami  (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan social.

B. DAFTAR PUSTAKA
-            AGAMA DAN PLURALITAS
       Edisi revesi di terbitkan oleh penebit pusat studi budaya dan perubahan sosial
       Universitas muhammadiyah negri surakarta.
-            http://www.awankpoenya.co.cc/2008/11/era-informasi-dan-globalisasi-sebagai_13.html