PERAN AGAMA DALAM PERKEMBANGAN BUDAYA LOKAL
DISUSUN
OLEH :
NAMA :
ALDI SUKMADIKA (10113606)
1 KA 07
UNIVERSITAS GUNADARMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Badaya
atau yang sering kita sebut sebagai culture merupakan bagian dari warisan orang
dulu atau nenek moyang kita yang masih ada hingga saat ini. Suatu bangsa atau
negara tidak akan berkembang tanpa ada nya budaya, maka budaya ini merupakan
faktor penting jugak, kebudayaan pun semakin berkembang di jaman modrenisasi
ini. Kebudayaan yang berkembang terhadap bangsa itu sendiri itu lah disebut
budaya lokal. Didalam kebudayaan pasti ada yang menganut kepercayaan sendiri –
sendiri ini lah yang disebut agama, dalam hal ini saya akan membahas mengenai
keragaman kebudayaan islam secara terperinci dan insyaallah akurat. Agama itu
sndiri iyalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan atau juga
disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang dianut oleh
suatu suku tersebut.
Pada pembahasan kali
ini saya akan membahas mengenai Agama dan keragaman kebudayaan agama islam.
Perspektif peradaban budaya islam, ini terkait erat dengan kebudayaan dan
keragamannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara islam masuk ke Indonesia ?
2.
Bagaimana
perkembangan agama islam klasik dari kebudayaan tunggal menjadi kebudayaan yang
beragam ?
3.
Bagaimana hubungan agama Islam dengan budaya
lokal ?
4.
Macam - macam
Keragamaan Kebudayaan islam lokal ?
BAB II
PERAN
AGAMA TERHADAP
PERKEMBANGAN
BUDAYA LOKAL
A. CARA ISLAM MASUK KE INDONESIA
Pada
awalnya Islam masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan
tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha,
Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para
wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya, bukan
dengan Al Quran di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Melalui alunan
gamelan di depan masjid Demak, Sunan Kalijaga mengajar masyarakat kalimah
syahadat. Seusai membaca syahadat, para mualaf dipersilahkan memasuki halaman
masjid dan menikmati indahnya alunan gamelan. Di Madura, Pangeran Katandur
memberi benih jagung dan mengajar masyarakat bertani sambil dilatih membaca kalimah
syahadat. Dan ketika panen jagung tiba, masyarakat dibiarkannya merayakan panen
dengan lomba lari sapi yang sekarang dikenal dengan karapan sapi.
Para
wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi,
sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta
berbagai seni pertunjukan, dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab.
Wayang yang merupakan bagian ritual dan
seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan
pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara,
sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan
diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena
Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.
B.
Perkembangan Peradapan Islam Klasik dari Kebudayaan Tunggal menjadi Kebudayaan
yang Beragam.
Analisis
hodgson(1974), Islam telah menampakkan eksistensinya pada periode keararifan
tinggi, yaitu pada masa kekuasaan bani marwan dan banni abbasiyah awal, yaitu pada waktu itu muslim membangun negara
atau khalifah dan kebudayaan yang sangat luas wilayahnya dengan bahasa tunggal
ilmu pengetahuan dan kebudayaan yaitu bahasa arab, dan agama islam lah sebagai
pembentuk utama kebudayaana, dan banyak mengembangan tradisi tradisi baru.
Pada periode selanjutnya islam
pertengahan awal, peradapan islam pun tumbuh dan berkembang menjadi peradaban
internasional yang menyebar keluar batas wilayah, melalui lembaga sosial
otonom, seperti organisasi ulama,sufi, dan organisasi komersial, yang melampui
batas kekhalifahan dan mendorong terbangunan kecanggihan kultural atau
kebudayaan tinggi dari tradisi-tradisi yang telah dikembangkan dimasa
kekhalifahan tinggi. Dengan itu islam pun telah memasuki babak baru dengan peradaban dan keragaman budaya.
Menurut analisis al-jabiri
(1991), dinasti abbasiyah misalnyanya. Dengan disiplin yang tekun keilmuan
islam dengan merengkontruksi bahasa dan agama yang berasal dari jaman jahiliya
dan masa permulaan islam dengan pengguna logika dari aristoteles dan beberapa
aspek pemikiran yunani, mengembangkan kebudayaan dengan pemikiran yang baru dan
sendiri,yaitu epsitemologi bayani. Ada pula lagi dinasti fathimiyah juga
menggunakan metode penalaran yunani terutama aristoteles, mengembangkan
kebudayaan dengan corak epistemologi lain, yaitu epistemologi burhani, yang
mencoba membangun kembali tradisi bayani, dan memperbaiki kekurangannya dan
membuang paham paham lama dengan pemahaman yang baru.
Dari analisis-analisis diatas
dapat di definisikan beberapa hal pertama, terdapat dialektka antara agama dan
warisan kebudayaan pra-islam, telah memberikan warna baru pada pengembangan
budaya islam. Kedua, otoritas kekuasan telah berperan sebagai faktor pembentuk
keragaman kebudayaan.
C. HUBUNGAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Agama
Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang
produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi
perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa
secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut.
Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam
itu sangat wajar, dan in the long run, seiring dengan perkembangan akal dan
kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan
sendirinya.
Para
ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif. Mereka tidak serta
merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan
aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan
untuk menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa
yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan,
tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu. Lebaran menjadi momentum
yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim.
Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin mementingkan diri sendiri.
Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu dengan nilai
Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah “adat bersendikan
hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga
dikenal abantal omba’, asapo’
iman yang bermakna bekerja
keras dan senantiasa bertakwa.
Islam
tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan
budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu
terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat
Islam merintis cross cultural
understanding(pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami
budaya bangsa lain.
Meluasnya
Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam
menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini
tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman
dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk
masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang
kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab.
Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan
menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan
Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak
tempat.
Dalam
benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk
bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas
nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan
karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki
fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat
yang beradab dan berperikemanusiaan.
D.
Keragaman Kebudayaan Islam
Jadi
secara garis besar kebudayaan islam dapat di petakan dalam lima kawasan :
arab,
iran ,turki, melayu dan afrika hitam.
1.
Kawansan Arab
Kawasan arab
kebudayaan islam adalah kawansan kebudayaan yang mendominan dengan bahasa arab
sebagai salah satu bahasa kebudayaannya.
2.
Kawasan Iran
Kawasan Iran
kebudayaan islam dicirikan dengan bahasa indo irannya yang sangat
mendominan,ciri etnik, dan bnyak nya mendominasi agama islam persia dan bahasa
persia.
3.
Kawasan Turki
Kawasan ini adalah
kawasan yang dekat dengan kebudayaan islam persia.
4.
Kawasan Melayu
Kawansan melayu
dari thailand hingga indonesia sampai dengan filiphina merupakan kebudayaan islam yang paling luas.
Walaupun di negara tersebut ada berbagai macam agama, tetapi tetap saja agama
islam mendominan.
5.
Kawasan Afrika Hitam
Kawansan ini
merupakan kawasan yang sudah memiliki kontak dengan islam atau hubungan dengan
islam yang lumayan cukup lama sejak masa nabi(melalui migrasi sebagian kecil
orang islam ke othopia)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam
masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka,
tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada
masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui
pendekatan budaya.
Dalam
benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk
bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas
nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan
karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki
fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat
yang beradab dan berperikemanusiaan.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola
berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang
bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai
salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam
bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari
sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Aktualisasi
nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama
dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat.
Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini.
Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang
bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk
dari kesalehan social.
B.
DAFTAR PUSTAKA
-
AGAMA DAN
PLURALITAS
Edisi revesi di terbitkan oleh penebit
pusat studi budaya dan perubahan sosial
Universitas muhammadiyah negri
surakarta.
-
http://www.awankpoenya.co.cc/2008/11/era-informasi-dan-globalisasi-sebagai_13.html